
Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) sedang mempertimbangkan untuk membuat ukuran minimum rumah subsidi menjadi lebih kecil, yakni luas bangunan minimal 18 m2 dan luas tanah minimal 25 m2. Alasannya karena harga tanah mahal dan agar rumah subsidi bisa mendekati wilayah perkotaan.
Namun anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang menilai rumah subsidi tapak memang seharusnya terorientasi tidak di areal kota besar, maupun mendekati kota karena harga tanah yang agak tinggi.
“Untuk rumah subsidi yang sudah ditetapkan harganya di kisaran Rp 166 juta kurang lebih. Maka dengan harga seperti itu untuk mendapatkan ukuran yang ideal sehat dan bersih, lokasi perumahan dimungkinkan berdekatan dengan kota mengingat transportasi ke kota yang sudah sangat memadai,” kata Bonny kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/6/2025).
Sedangkan untuk permasalahan hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di kota besar, pemerintah sudah menetapkan hunian vertikal dengan peran pemerintah memberikan lahan gratis kepada pengembang guna hunian kota bisa terjangkau oleh masyarakat MBR.
“Hemat saya pribadi sebaiknya harga satuan unit yang lebih baik diatur oleh pemerintah dan biarkan pengembang yang memberikan pilihan luasan kepada pasar masyarakat MBR selama luasan itu minimal 60/40 idealnya sehingga masyarakat MBR Indonesia dapat memiliki rumah yang layak,” kata Bonny.
Sehingga tidak perlu memaksakan karakteristik rumah subsidi yang memang berada di pinggiran untuk mendekati wilayah kota. Jika masyarakat memang butuh tinggal di wilayah perkotaan, maka pilihannya mengarah pada perumahan vertical yang memang berada di wilayah perkotaan.
“Jikalau luasan itu diatur oleh pemerintah menjadi acuan katagori MBR katakan 25/18 dan bukan berdasarkan acuan harga, maka sasaran pemerintah untuk mengurangi backlog di pasar MBR akan terganggu, ekosistem FLPP akan terganggu, kenapa?,” ucapnya.
“Jika ada pengembang besar membangun hunian dengan ukuran 25/18 dengan harga di atas Rp 185 juta ke atas, di dekat atau di kota, maka pembeli itu akan tergolong MBR penikmat subsidi bunga rendah dan tanpa DP fasiitas MBR itu akan terserap oleh masyarakat menengah ke atas. Dan ini bukanlah sasaran kita untuk memperbaiki dan meningkatkan penyaluran pembiayaan kepada sektor MBR,” lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) buka suara terkait adanya pro dan kontra terhadap draft Peraturan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman terkait batasan luas lahan dan luas lantai rumah umum tapak.
Salah satu sorotannya desain rumah subsidi selama ini tidak banyak berubah sehingga tidak banyak pilihan bagi konsumen apalagi di kawasan perkotaan harga lahan semakin mahal.
“Sekarang saya mau lihat desain-desainnya. Bisa buat tingkat nggak? Soalnya tanahnya kan mahal. Masa kita kalah dari masalah? Kalau tanahnya mahal, selama ini ruang bisa dibangun tingkat jadi kita jangan mau kalah dari masalah? Desain-desain rumahnya dari dulu gitu-gitu aja. Kita bikin desain yang bagus. Nanti tunggu kejutannya. Saya akan expose desain-desain rumah yang bagus,” ucap Ara.
Lebih lanjut, setelah menyusun peraturan terkait rumah subsidi FLPP, pihaknya akan buat aturan terkait rumah komersil.
“Jadi nanti ada aturan rumah subsidi dan rumah komersil. Isinya tentu akan mengatur soal lahan, pembiayaan, desain, ukuran dan harga. DPR juga meminta kami untuk menjalan peraturan hunian berimbang agar segera dilaksanakan oleh pengembang,” katanya.
Sebelumnya, rencana mengubah ukuran minimum luas rumah subsidi ini dikabarkan telah mendapat penolakan dari Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo.
“Benar (tidak setuju rumah subsidi diperkecil) setelah saya konfirmasi ke beliau (Hashim) dan dari London Beliau mengucapkan tidak pernah ada menyetujui perubahan itu,” kata Bonny.