Beberapa ekonom mewanti-wanti Presiden Prabowo Subianto tentang adanya risiko yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia, dengan bergabung bersama kelompok Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
Salah satu ekonom yang menyampaikan potensi risiko ini ialah Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Ia menitikberatkan pada makin besarnya risiko ketergantungan ekonomi Indonesia dengan China.
Sebab, saat ini saja, impor Indonesia dari China sudah melonjak 112,6% dalam 9 tahun terakhir, dari US$ 29,2 miliar pada 2015 menjadi US$ 62,1 miliar pada 2023.
“Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023,” kata Bhima, Senin (28/10/2024).
Selain itu, China juga sudah menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan porsi 25,56% dari total ekspor non migas per September 2024 sebesar US$ 20,91 miliar.
Potensi semakin besarnya ketergantungan ekonomi Indonesia dengan China ini Bhima tegaskan bisa membuat perekonomian Indonesia makin rapuh.
Selain karena ekonomi China yang kian melambat lima tahun ke depan, barang-barang produksi China juga sudah membanjiri ekonomi domestik yang diduga sebagai biang kerok gulung tikarnya sejumlah industri.
Di antaranya ialah industri keramik Indonesia, yang telah membuat pemerintah harus mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap 32 perusahaan China melalui penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2024.
Bhima mengingatkan, ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4% dalam empat tahun kedepan berdasarkan World Economic Outlook IMF. Sehingga, memberi risiko dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian.
“Kondisi ini idealnya direspon dengan penguatan diversifikasi negara mitra diluar China bukan malah masuk menjadi anggota BRICS,” ungkap Bhima.
Bhima juga menekankan, aktivitas diplomasi global China terbilang masih belum berkelanjutan. Misalnya saja saat Indonesia merayakan pelantikan Prabowo sebagai Presiden kapal laut Coast Guard China masuk ke wilayah yuridiksi di Natuna Utara.
Di sisi lain, hubungan India dengan China yang sama-sama negara pendiri BRICS juga memiliki konfrontasi yang intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara meliputi, Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh. Berpotensi mengganggu stabilitas hubungan China dan India, dan secara bersamaan juga akan mempengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS.
Sementara itu Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damhuri juga menilai Indonesia tak perlu masuk menjadi anggota BRICS, karena sudah menjadi anggota G20 yang secara skala ekonomi lebih besar dari BRICS.
“Indonesia itu anggota G20, kita tidak terlalu memerlukan suatu platform baru untuk menjadi saluran di tingkat global,” kata dia.
Menurut dia, kondisi Indonesia itu berbeda dengan negara Asean lainnya yang masuk dalam sebagai mitra BRICS, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Yose mengatakan ketiga negara tetangga itu bukan anggota G20, sehingga perlu mencari corong saluran diplomasi di tingkat global.
Karena itu Yose menilai Indonesia seharusnya mendorong agar negara Asean lainnya bisa masuk menjadi anggota G20. Bukannya mengikuti langkah negara Asean untuk masuk kelompok BRICS.
“Yang kita harus coba justru bukan menjadi bagian dari satu kelompok yang mungkin belum ketahuan juga tujuannya seperti apa,” kata dia.