
Sepanjang tahun 2025, harga emas global dan lokal menunjukkan tren kenaikan yang signifikan.Kondisi ini mencerminkan status emas sebagai aset safe haven atau tempat penyimpanan yang aman di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
Pada perdagangan di pasar global, harga emas batangan mencapai 113,9 dollar AS atau sekitar Rp1.919.908 (kurs 1dollar setara Rp 16.840) per gram.
Di Indonesia, tren kenaikan harga emas global berdampak pada harga emas domestik, bahkan pada tanggal 17 April, harga emas Antam di Pegadaian tembus Rp2,04 juta per gram, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan emas Galeri24 yang hanya Rp1,942 juta per gram dan UBS yang hanya Rp1,965 per gram.
Salah satu penyebab harga emas meroket, sebagaimana dikutip dari Financial Express, adalah karena adanya pengumuman tarif Trump yang berimplikasi pada ketidakpastian tinggi dalam ekonomi global dan meningkatkan risiko resesi, terutama di Amerika Serikat (AS).
Selain itu, memanasnya konflik perdagangan antara AS dan China juga membuat orang-orang memilih untuk membeli emas. Di tengah ketidakpastian dan risiko global, emas dianggap menjadi kelas aset yang paling dicari. Hal itulah yang diyakini menjadi alasan harga emas terus naik. Emas telah menjadi salah satu kelas aset paling disukai dalam 2 hingga 3 tahun terakhir oleh bank sentral, industri, dana yang diperdagangkan di bursa global, dan investor.
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi terutama, bagi para investor, kenaikan harga emas sering kali memberikan keuntungan jangka pendek. Mereka yang telah menginvestasikan uang mereka dalam emas sebelum harga melonjak, dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Namun, fluktuasi harga emas yang tajam juga dapat menambah risiko investasi. Oleh karena itu, para investor perlu mempertimbangkan risiko ini sebelum memutuskan untuk membeli emas sebagai aset jangka panjang.
Sementara itu dari sisi ekonomi makro, kenaikan harga emas dapat memengaruhi sektor-sektor tertentu, terutama industri yang bergantung pada emas sebagai bahan baku, seperti perhiasan dan elektronik.
Harga emas yang tinggi membuat biaya produksi bagi perusahaan-perusahaan ini meningkat. Untuk mempertahankan margin keuntungan, mereka mungkin akan menaikkan harga produk, yang berpotensi menurunkan daya beli konsumen. Hal ini dapat berujung pada penurunan permintaan di pasar.
Penelitian oleh Bank Indonesia (2023) menyatakan bahwa harga emas berpengaruh signifikan terhadap volatilitas nilai tukar dan inflasi inti, terutama saat terjadi krisis global.
Dampak bagi perekonomian
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) produksi emas Indonesia tahun 2023 mencapai sekitar 90 ton, dengan nilai ekspor emas batangan mencapai 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan sektor pertambangan sendiri berkontribusi sekitar 7 persen terhadap PDB nasional, dan emas menjadi salah satu penyumbang utama dalam kategori mineral logam.
Kenaikan harga emas memberikan dampak positif terutama dalam hal peningkatan ekspor dan surplus perdagangan yang mendorong peningkatan nilai ekspor meskipun volume produksi stagnan. Hal ini berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan, penguatan nilai tukar rupiah, dan penambahan cadangan devisa.
Misalnya pada tahun 2024, ekspor emas Indonesia meningkat 18 persen secara nilai meskipun volume hanya naik 3 persen, berkat kenaikan harga emas internasional.
Selanjutnya kenaikan harga emas juga berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan daerah dan pusat, dimana pemerintah pusat memperoleh tambahan pendapatan dari pajak dan royalti atas komoditas emas, dan daerah penghasil emas, seperti Papua dan Sulawesi Utara, mencatatkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang signifikan.
Secara keseluruhan harga emas yang tinggi meningkatkan minat investor untuk menanamkan modal dalam eksplorasi dan produksi emas, baik dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) dan akan berdampak pada peningkatan investasi di sektor tambang.
Namun demikian perlu juga disikapi dampak negatif dari kenaikan emas yang dapat mengganggu atau bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu antara lain adanya ketidakstabilan ekonomi yang disebabkan harga emas sering cenderung naik saat terjadi ketidakpastian global, yang dapat menyebabkan penurunan kepercayaan investor terhadap pasar modal dan peningkatan permintaan emas sebagai safe haven menggantikan investasi produktif.
Selanjutnya kenaikan harga emas juga akan memberikan tekanan terhadap konsumsi dan inflasi karena memicu kenaikan harga perhiasan dan produk turunannya di dalam negeri. Hal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menyebabkan inflasi di sektor non-pangan.
Secara keseluruhan dampak negatif kenaikan harga emas juga akan memberikan distorsi terhadap arah investasi yang disebabkan pengaruh perilaku masyarakat dan pelaku usaha yang cenderung mengalihkan dana ke emas daripada ke sektor produktif seperti UMKM atau industri, sehingga menurunkan investasi riil dalam jangka panjang.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan telah menerapkan beberapa langkah strategis terhadap kenaikan harga emas ini dengan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunga Bank Indonesia agar tetap kompetitif dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah
Langkah strategis tersebut antara lain adalah menaikkan BI rate menjadi 6,25 persen pada kuartal I 2025 untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang sempat melemah akibat ketegangan global, memastikan intervensi pasar valas oleh Bank Indonesia untuk menjaga volatilitas rupiah tetap terkendali, dan melakukan operasi moneter rutin untuk menyerap ekses likuiditas dan menjaga inflasi tetap dalam target 2,5% (plus/minus 1%).
Selanjutnya Pemerintah juga menerbitkan kebijakan insentif fiskal untuk investasi di sektor hilirisasi emas bagi investor dan pengusaha tambang dengan melakukan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan hingga 50 persen selama 5 tahun untuk investasi pada smelter dan refinery emas, memberikan pembebasan Bea masuk 0 persen untuk impor mesin dan peralatan proyek smelter emas, serta adanya fasilitas Tax Holiday bagi investor besar yang membangun fasilitas pengolahan emas dan produk turunannya seperti logam industri, perhiasan, hingga komponen teknologi.
Dalam hal cadangan devisa, ditingkatkan melalui diversifikasi aset, termasuk peningkatan kepemilikan emas oleh Bank Indonesia dengan mulai menambah emas sebagai bagian dari cadangan devisa, dari 3 persen pada 2023 menjadi sekitar 5 persen di 2025, melakukan kolaborasi dengan PT ANTAM, PT Pegadaian, dan PT Bappebti untuk pembentukan basis logam mulia digital sebagai instrumen moneter, serta Bank Indonesia juga mempertimbangkan pembentukan “Digital Gold Reserve” sebagai bagian dari penguatan instrumen lindung nilai nasional.
Kenaikan harga emas, jika dikelola dengan kebijakan yang tepat, dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara, dan investasi. Hasil penelitian World Gold Council (2024) menunjukkan bahwa kenaikan harga emas 10 persen dapat meningkatkan GDP negara pengekspor emas sebesar 0,3 persen jika kebijakan fiskal mendukung.
Namun, apabila kenaikan harga emas disikapi tanpa pengelolaan risiko yang cermat, lonjakan harga emas dapat menjadi sumber ketidakstabilan makroekonomi dan perlambatan pertumbuhan jangka panjang. Oleh karena itu, sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan investasi menjadi kunci dalam merespons dinamika harga emas global.