Nilai tukar garuda kembali tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah dana asing yang berbondong-bondong keluar dari pasar keuangan domestik.
Melansir data Refinitiv, nilai tukar garuda ambruk hingga 0,64% ke level Rp15.775/US$ pada akhir perdagangan Selasa (12/11/2024). Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.797/US$ hingga Rp15.720/US$.’
Sementara itu,Indeks Dolar AS (DXY) terpantau menguat 0,18% pada pukul 15.00 di posisi 105,735, sedikit naik dibandingkan angka penutupan pekan lalu yang berada di posisi 105,543. Penguatan ini yang menjadi salah satu penekan nilai rupiah hari ini.
Nilai tukar rupiah hari ini tampaknya masih akan tertekan di tengah keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik untuk sementara waktu.
Bank Indonesia (BI) menunjukkan untuk periode 4-7 November 2024, tampak dana asing sebesar Rp10,23 triliun kabur dari tiga instrumen keuangan dalam negeri, yakni saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), masing-masing sebesar Rp2,29 triliun, Rp4,66 triliun, dan Rp3,28 triliun.
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Fitra Jusdiman, menyebutkan bahwa faktor global menjadi penyebab utama pelemahan rupiah, terutama dampak dari hasil Pilpres Amerika Serikat yang dimenangkan Donald Trump.
“Faktor utama pelemahan rupiah dan aset domestik saat ini lebih berasal dari faktor global, utamanya dari AS, di mana banyak dana asing yang kembali ke AS,” jelas Fitra.
Sebagai tambahan, Global Markets Strategist PT Bank Maybank Indonesia Tbk Myrdal Gunarto juga menyebutkan bahwa para pelaku pasar masih dipenuhi ketidakpastian terkait kebijakan yang akan dilakukan oleh Donald Trump, sehingga investor banyak melakukan aksi profit taking terlebih dahulu dalam pasar domestik.
Sejalan dengan itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai volatilitas rupiah memang cukup tinggi saat ini, namun masih cenderung stabil.
David juga menegaskan bahwa faktor dalam negeri belum memberikan katalis utama yang mempengaruhi pelemahan rupiah.
Di sisi lain, Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menyoroti ekspektasi inflasi AS sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi keputusan investor, dengan kemungkinan kenaikan inflasi AS dapat mendorong Federal Reserve untuk mempertahankan kebijakan suku bunga ketat.
Menurut Ekonom Indo Premier Sekuritas, Luthfi Ridho, tren ini juga merupakan pola musiman, terutama menjelang akhir tahun yang ditandai dengan kebutuhan impor bahan bakar, persiapan libur Natal dan Tahun Baru, serta pembayaran utang dan dividen.
Peningkatan permintaan dolar AS yang tinggi pada periode ini turut menjadi tekanan bagi rupiah.
Bank Indonesia terus berupaya menstabilkan nilai tukar dengan berbagai intervensi pasar guna mengantisipasi lonjakan volatilitas.