Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia buka-bukaan terkait fakta mengejutkan dibalik program kebanggaan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam hal ini proyek hilirisasi nikel.
Hal tersebut terungkap dalam presentasi Bahlil saat sidang terbuka promosi doktor kajian stratejik dan global Universitas Indonesia di Kampus UI, Depok pada, Rabu (16/10/2024).
Di dalam sidang tersebut, Bahlil mempresentasikan disertasi yang berjudul Kebijakan, Kelembagaan, Tata Kelola, Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.
Semula, Bahlil menjelaskan bahwa program hilirisasi yang digencarkan pemerintahan saat ini sejatinya telah memberikan dampak positif. Namun demikian, ia mengakui masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki.
“Hilirisasi memberikan dampak positif, namun sebagai orang daerah, masih ada yang harus diperbaiki,” kata dia saat mempresentasikan disertasinya.
Setidaknya terdapat beberapa isu yang menjadi sorotan Bahlil dalam disertasinya. Pertama yakni terkait dengan Dana Bagi Hasil (DBH) yang selama ini dinilainya masih belum adil bagi daerah.
Menurut dia, hilirisasi nikel sebenarnya memberikan dampak positif lantaran menghasilkan nilai tambah yang fantastis. Terbukti nilai ekspor nikel pada saat ini mencapai US$ 34 miliar naik signifikan dari tahun 2017 yang hanya US$ 3,3 miliar.
Namun, Bahlil juga menyoroti ketidakpuasan terkait mekanisme pembagian DBH. Sebagai contoh, di Halmahera Tengah, salah satu kawasan industri pengolahan nikel, tercatat nilai produksi mencapai Rp 12,5 triliun.
Sayangnya, pemerintah pusat hanya membagikan DBH sekitar Rp 1,1 triliun untuk kabupaten tersebut dan Rp 900 miliar untuk pemerintah provinsi.
“Sementara beban tanggung jawab mereka luar biasa, kesehatan lingkungan jalan dan sampah luar biasa sekali. Dan menurut saya masa total pendapatan DBH hanya 1/6 yang dikembalikan ke daerah. Itu mengapa banyak orang daerah berteriak,” kata Bahlil.
Ada kasus ISPA
Oleh sebab itu, dalam disertasinya ia mengusulkan agar kebijakan terkait pembagian dana hasil ke daerah dapat dikaji kembali. Ia pun menyarankan 30-45% penerimaan harus dibagikan ke daerah.
Tak cuma itu, ia juga turut menyoroti mengenai meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah Sulawesi Tengah, khususnya Morowali yang menjadi salah satu daerah dalam pengembangan industri nikel di Indonesia.
Menurut Bahlil, angka penderita asma di Morowali telah mencapai 54%. Ia menilai kondisi lingkungan di Morowali yang memprihatinkan, terutama kualitas udara dan air, sebagai dampak dari kegiatan hilirisasi yang baru berkembang di kawasan tersebut.
“Khususnya di Morowali 54% kena asma semua. Kemudian di Halmahera tengah jauh lebih baik dan air di sana untuk di Morowali waduh itu minta ampun. Kenapa di Morowali seperti ini karena ini adalah barang baru,” kata dia.
Bahlil menekankan pentingnya hilirisasi dalam mendorong transformasi ekonomi. Di Morowali dan Sulawesi Tengah misalnya, ia menyebut hilirisasi telah mendorong pertumbuhan ekspor nikel hingga ratusan kali lipat. “Ekspor di Morowali dan Sulawesi tengah itu ratusan kali lipat dari sebelumnya ada hilirisasi bahkan 50-60% dari total ekspor nasional,” ujarnya.
Reformulasi kebijakan
Selanjutnya, dalam disertasinya tersebut Bahlil juga menekankan pentingnya reformulasi kebijakan pembiayaan untuk pengusaha nasional, khususnya di sektor hilirisasi yang bernilai tambah tinggi.
Menurut Bahlil, terdapat ketimpangan karena nilai tambah sektor ini masih banyak dinikmati oleh investor asing, sedangkan pengusaha dalam negeri kesulitan mendapatkan pembiayaan yang memadai.
“Masalah kita adalah perbankan nasional yang belum membiayai investasi di sektor hilirisasi. Ini harus ada karena di Korea, Jepang, China itu ada. Andaikan pun sekarang ada optimalisasi pembiayaan kredit belum maksimal,” kata Bahlil.
Ia juga mendorong penguatan kemitraan antara investor dan pengusaha lokal. Menurutnya, pengusaha daerah tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah maraknya investasi, melainkan harus menjadi pemain utama di negeri sendiri.
Di samping itu, Bahlil mengakui bahwa selama lima tahun terakhir di kabinet, hilirisasi seakan muncul tanpa perencanaan strategis. Ia mempertanyakan institusi mana yang seharusnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan ini.
“Ini cuma soal keberanian Presiden Jokowi dan menterinya yang sedikit agak nakal termasuk saya. Karena kalau dilakukan sampai ayam tumbuh gigi gak akan bisa dilakukan. Saya menguji kelakuan otak kiri saya dalam konteks akademik, tapi gak bisa lama lakukan ini, harus bagikan by desain akademik,” ujarnya.
Dalam kesimpulannya, Bahlil mengakui bahwa dampak hilirisasi memang masih belum sepenuhnya adil dan berkelanjutan bagi pemerintah dan masyarakat daerah.
Namun, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Investasi, ia membuat kebijakan yang mewajibkan para investor berkolaborasi dengan pengusaha daerah dan UMKM melalui Peraturan Menteri Investasi/Kepala BKPM Nomor 1 Tahun 2022. Meski begitu, aturan tersebut juga tak diindahkan dengan baik
“Setiap investor masuk ke daerah wajib berkolaborasi dengan pengusaha daerah dan UMKM, ini aja masih ditentang. Kalau kita saja masih ditentang mau suruh siapa lagi? negara lain untuk bantu negara kita? kalau mau tumbuh konglomerat berpikir bijak seutuhnya,” kata dia.