Ombudsman: Konsistensi kebijakan kunci swasembada berkelanjutan

Ombudsman: Konsistensi kebijakan kunci swasembada berkelanjutan

Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika meminta pemerintah menyusun kebijakan perberasan nasional yang fokus pada konsistensi dan kestabilan demi mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan.

Yeka mengungkapkan bahwa berdasarkan catatan Badan Pangan Nasional, stok beras bulan Juli 2025 mencapai 4.2 juta ton, ini merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Sebagai perbandingan pada tahun 1984 dan 1997 stok tertinggi hanya sekitar 3 juta ton.

Menurutnya, angka tersebut memang terlihat baik, namun stok besar belum tentu aman jika tidak dikelola dengan hati-hati. Ia menegaskan bahwa swasembada bukanlah capaian sesaat, melainkan keberlanjutan

“Jika stok itu gambaran swasembada maka concern Ombudsman bukan swasembada di satu titik melainkan swasembada berkelanjutan. Apa artinya kita merayakan swasembada tapi akhirnya mengimpor lagi. Itulah perlunya membuat kebijakan yang lebih terencana dengan baik sehingga target swasembada diterapkan dengan tujuan sebenarnya,” kata Yeka dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional di Gedung Ombudsman RI, Selasa.

Yeka juga menjelaskan bahwa kebijakan any quality dengan harga gabah Rp 6.500/kg dan penumpukan stok di Bulog sempat meningkatkan Nilai Tukar Petani Beras (NTPb) hingga 120.

Namun pascakebijakan tersebut, harga gabah melonjak ke Rp 7.500–8.000/kg dan harga beras melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Ia menyebut masa panen raya sudah lewat, tetapi stok pemerintah hingga Juli belum optimal dilepas ke pasar sehingga memperburuk kelangkaan.

Sulitnya penyaluran beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) juga menambah kompleksitas. Aturan yang ketat dan ancaman pidana membuat pelaku usaha enggan terlibat distribusi.

Beberapa distributor bahkan diproses hukum akibat perbedaan persentase broken beras dengan label kemasan. Sementara itu, penggilingan beras tidak memperoleh margin usaha karena HET belum disesuaikan dengan ongkos produksi.

“Saya melihat HET perlu diformulasikan lagi, apakah tepat pelaku usaha dibebankan dengan HET. Sebagian besar pengamat melihat bahwa HET untuk swasta sebaiknya dilepas saja. Jadi ada paradoks apakah betul HET ini mensejahterakan masyarakat,” kata Yeka.

Berdasarkan data Bapanas, konsumsi beras nasional sekitar 2,6 juta ton per bulan. Stok masyarakat rata-rata hanya 4 juta ton (per Desember 2023). Jika suplai pemerintah tersendat, stok hanya mampu bertahan sekitar 1,6 bulan.

Hingga Juli 2025, penyaluran beras SPHP baru 236.128 ton (data Bulog), jauh di bawah kebutuhan. Produksi beras komersial pun terhambat kebijakan HET. Belakangan, pemerintah juga meminta produsen dan distributor menandatangani surat komitmen membeli Gabah Kering Panen Rp 6.500/kg dan menjual beras sesuai HET.

Ombudsman menilai ketidakjelasan aturan HPP dan HET membingungkan semua pihak. Produsen tidak jelas pedoman HPP gabah, pengolah dan distributor rugi karena HET tak menutup biaya, dan konsumen bingung dengan kualitas beras.

Ancaman pidana makin menambah ketidakpastian sehingga berbisnis dengan aturan yang berubah-ubah dan berisiko pidana dan tidak kondusif.

Sebagai solusi, Ombudsman meminta pemerintah mempercepat penyaluran beras SPHP dengan memperbaiki distribusi, melibatkan pelaku usaha, memberikan kejelasan aturan bagi beras komersial agar sesuai mekanisme pasar, serta memastikan bantuan pangan tepat sasaran bagi masyarakat miskin sebagaimana amanat Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.

Yeka menekankan, pemerintah perlu membuat kebijakan perberasan yang lebih konsisten. Kebijakan pemerintah juga harus dapat memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas panen petani. Dalam hal ini, gabah dengan kualitas yang lebih baik mendapatkan harga yang layak.

“Pemerintah wajib memastikan beras SPHP dan komersial dapat diakses masyarakat dengan harga wajar, dan bantuan pangan diberikan tepat sasaran karena bagaimanapun ini sudah menjadi hak masyarakat,” tutur Yeka.

Terkait perlindungan konsumen, Yeka juga mendukung upaya Satgas Pangan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terkait kesesuaian label dengan isi beras kemasan.

“Sejak 2007 isu beras berlabel ini sudah mencuat, bahwa pemerintah mendorong beras dikemas dengan benar dan apa yang di dalamnya harus sesuai, jika melanggar artinya salah. Jika praktik ini tidak dibenahi terus menerus dapat menimbulkan berbagai permasalahan salah satunya adalah isu beras oplosan,” ujarnya.

Oleh karena itu, melalui Diskusi Publik ini Yeka berharap dapat mengumpulkan berbagai informasi sebanyak mungkin guna memberikan saran perbaikan kepada pemerintah terkait kebijakan perberasan dari hulu ke hilir.

Turut hadir sebagai narasumber Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf, Deputi KSP Bapanas I Gusti Ketut Astawa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian Alamsyah Saragih dan Pengamat Pertanian Khudori.

kera4d login