Perlu modifikasi hukum pers demi menjawab tantangan digitalisasi

Perlu modifikasi hukum pers demi menjawab tantangan digitalisasi

Ilustrasi – Petugas mendeteksi berita hoaks yang beredar di jejaring media sosial. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/hp/aa.

Sebelum telepon pintar merevolusi zaman, surat kabar dan televisi memonopoli lalu lintas informasi sampai memiliki kuasa dalam membentuk dan memengaruhi opini publik.

Akan tetapi, era itu meredup setelah media online datang menduduki zaman. Media online juga mengubah secara drastis pola produksi berita dan model konsumsi berita.

Perubahan itu semakin radikal setelah invasi media sosial terhadap model produksi dan bisnis berita, seiring dengan pengembangan terus menerus dalam fungsi telepon pintar.

Sampai Oktober 2024, meminjam analisis Kepios, pengguna media sosial di seluruh dunia sudah mencapai 5,22 miliar atau setara dengan 63,8 persen penduduk dunia.

Meluasnya penggunaan media sosial itu terjadi karena fungsi komunikasi digital sudah jauh lebih berkembang dengan tidak cuma untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga seperti tujuan awalnya.

Manusia kini menggunakan media sosial untuk banyak sekali tujuan, termasuk untuk mendapatkan berita tentang dunia di sekitar mereka.

Menurut data terbaru We Are Social, tujuan mencari berita menduduki tiga teratas setelah (1) terhubung dengan teman atau keluarga, dan (2) mengisi waktu senggang.

Proporsinya pun besar, mencapai 34,4 persen dari total pengguna media sosial di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, sampai awal 2024, sekitar 60 persen penduduknya memperoleh berita dari media sosial, khususnya WhatsApp, YouTube, Facebook, Instagram, dan TikTok.

Kecenderungan itu bakal semakin luas, sejalan dengan perkembangan teknologi dan platform digital yang kian canggih, selain oleh makin dominannya generasi digital dalam proporsi demografi penduduk.

Cara kerja media massa sendiri sudah lama berubah. Dulu, wartawan adalah penjaga gerbang berita yang memutuskan apa yang harus menjadi berita utama, bagaimana informasi dibingkai, dan menentukan apa yang menarik bagi publik.

Akan tetapi kehadiran media sosial mengubah zona nyaman itu, setelah siapa pun yang memiliki akses internet bisa membuat dan menyiarkan berita langsung ke publik.

Media massa pun dipaksa beradaptasi dengan ekosistem baru ini, bahkan harus rela tak lagi berada di puncak piramida informasi.

Erosi makna

Perubahan itu juga menciptakan demokratisasi informasi, yang baik bagi masyarakat madani.

Namun di sisi lain, demokratisasi informasi membuka ruang untuk terciptanya lingkungan yang menyuburkan disinformasi, yang tak saja mudah dikembangbiakkan tapi juga begitu gampang tersebar sampai mengalahkan kebenaran.

Kebenaran di era ini sendiri acap ditentukan oleh bagaimana sering informasi disampaikan kepada publik, bukan kepada seberapa benar informasi itu.

Media massa sendiri nyaris tak berdaya menghadapinya karena memang terlalu sulit menandingi platform-platform digital, yang memiliki infrastruktur teknologi yang hebat. Platform-platform digital itu juga memiliki kuasa besar atas algoritma yang menentukan popularitas https://yertakanhold.org/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*